Filsafat Ekonomi Islam (3) (Tulisan ke 3 dari 8 tulisan bersambung)

Oleh : Agustianto

Ketua I Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI)

 

Prinsip Maslahah dalam Ekonomi

Prinsip kedua dalam ekonomi Islam adalah maslahah. Penempatan prinsip ini diurutan kedua karena mashlahah merupakan konsep yang paling penting dalam syariah, sesudah tawhid. Mashlahah adalah tujuan syariah Islam dan menjadi inti utama syariah Islam itu sendiri.

Secara umum, maslahah diartikan sebagai kebaikan (kesejahtraan) dunia dan akhirat. Para ahli ushul fiqh mendefinisikannya sebagai segala sesuatu yang mengandung manfaat, kegunaan, kebaikan dan menghindarkan mudharat, kerusakan dan mafsadah. (jalb al-naf’y wa daf’ al-dharar). Imam Al-Ghazali menyimpukan, maslahah adalah upaya mewujudkan dan memelihara lima kebutuhan dasar, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.

Al mashlahah sebagai salah satu model pendekatan dalam ijtihad menjadi sangat vital dalam pengembangan ekonomi Islam dan siyasah iqtishadiyah (kebijakan ekonomi). Mashlahah adalah tujuan yang ingin diwujudkan oleh syariat. Mashlahah merupakan esensi dari kebijakan-kebijakan syariah (siyasah syar`iyyah) dalam merespon dinamika sosial, politik, dan ekonomi. Maslahah `ammah (kemaslahatan umum) merupakan landasan muamalah, yaitu kemaslahatan yang dibingkai secara syar’i, bukan semata-mata profit motive dan material rentability sebagaimana dalam ekonomi konvensional.

Pengembangan ekonomi Islam dalam menghadapi perubahan dan kemajuan sains teknologi  yang pesat haruslah didasarkan kepada maslahah. Para ulama menyatakan ”di mana ada maslahah, maka  di situ ada syariah Allah ”. Ini berarti bahwa segala sesuatu yang mengandung kemaslahatan, maka di sana ada  syariah Allah. Dengan demikian maslahah adalah konsep paling utama dalam syariat Islam.

 

3. Adil

 

Prinsip adil merupakan pilar penting dalam ekonomi Islam. Penegakkan keadilan telah ditekankan oleh Al quran sebagai misi utama para Nabi yang diutus  Allah (QS.57:25). Penegakan keadilan ini termasuk keadilan ekonomi dan penghapusan kesenjangan pendapatan. Allah yang menurunkan Islam sebagai sistem kehidupan bagi seluruh umat manusia, menekankan pentingnya adanya keadilan dalam setiap sektor, baik ekonomi, politik maupun sosial.

Komitmen Al quran tentang penegakan keadilan terlihat dari penyebutan kata keadilan di dalamnya yang mencapai lebih dari seribu kali[1], yang berarti ; kata urutan ketiga yang banyak disebut Al quran setelah kata Allah dan ‘Ilm. Bahkan, menurut Ali Syariati dua pertiga ayat-ayat Al quran berisi tentang keharusan menegakkan keadilan dan membenci kezhaliman, dengan ungkapan kata zhulm, itsm, dhalal, dll (Kahduri, The Islamic Conception of Justice (1984):10).

Tujuan keadilan sosio ekonomi dan pemerataan pendapatan / kesejahteraan, dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari filsafat moral Islam. Demikian kuatnya penekanan Islam pada penegakan keadilan sosio ekonomi. Maka, adalah sesuatu yang keliru, klaim kapitalis maupun sosialis yang menyatakan bahwa hanya mereka yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.

Harus kita bedakan bahwa konsep kapitalis tentang keadilan sosio ekonomi dan pemerataan pendapatan, tidak didasarkan pada komitmen spiritual dan persaudaraan (ukhuwah) sesama manusia. Komitmen penegakkan keadilan sosio ekonomi lebih merupakan akibat adanya  tekanan dari kelompok.

Secara konkrit, misalnya  sistem kapitalisme yang berkaitan dengan uang dan perbankan, tidak dimaksudkan untuk mencapai tujuan–tujuan keadilan sosio ekonomi yang berdasarkan nilai spritual dan persaudaraan  universal. Sehingga, tidak aneh, apabila uang masyarakat yang ditarik oleh bank konvensional (kapitalis) dominan hanya digunakan oleh para pengusaha besar (konglomerat).

Kemanfaatan dari lembaga perbankan tidak dinikmati oleh rakyat kecil yang menjadi mayoritas penduduk sebuah negara. Fenomena ini terlihat sangat jelas terjadi di Indonesia. Akibatnya yang kaya semakin kaya dan miskin makin miskin. Ketidakadilan pun semakin lebar. Sebagaimana disebut di atas, konversi ekonomi Barat (terutama kapitalisme) kepada penegakan keadilan sosio ekonomi, merupakan tekanan-tekanan kelompok masyarakat dan tekanan-tekanan politik. Maka, untuk mewujudkan keadilan sosio-ekonomi itu mereka mengambil beberapa langkah, terutama melalui pajak dan transfer payment.

Meskipun ada usaha melalui instrumen pajak, namun langkah-langkah ini menurut Milton Friedman, terbukti tidak cukup efektif untuk mengatasi ketidakadilan, karena nyatanya pajak selalu menguntungkan pengusaha, dan para penjabat pajak bersama kelompok-kelompoknya. (Lihat, “Capitalisme and Freedom”, Chicago, The University of Chicago Press, 1962, p.172).

Konsep sosio ekonomi dalam Islam berbeda secara mendasar dengan konsep keadilan dalam kapitalisme dan sosialisme. Keadilan sosio ekonomi dalam Islam, selain didasarkan pada komitmen spritual, juga didasarkan atas konsep persaudaraan universal sesama manusia.

Al quran secara eksplisit menekankan pentingnya keadilan dan persaudaraan tersebut. Menurut M. Umer Chapra, sebuah masyarakat Islam yang ideal mesti mengaktualisasikan keduanya secara bersamaan, karena keduanya merupakan dua sisi yang tak bisa dipisahkan. Dengan demikian, kedua tujuan ini terintegrasi sangat kuat ke dalam ajaran Islam sehingga realisasinya menjadi komitmen spritual (ibadah) bagi masyarakat Islam.

Komitmen Islam yang besar pada persaudaraan dan keadilan, menuntut agar semua sumber daya yang menjadi amanat suci Tuhan, digunakan untuk mewujudkan maqashid syari’ah, yakni pemenuhan kebutuhan hidup manusia, terutama kebutuhan dasar (primer), seperti sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Persaudaraan dan keadilan juga menuntut agar sumberdaya didistribusikan secara adil kepada seluruh rakyat melalui kebijakan yang adil dan instrumen zakat, infaq, sedekah, pajak, kharaj, jizyah, cukai ekspor-impor dan sebagainya.

Aspek Tauhid yang menjadi fondasi utama ekonomi Islam, mempunyai hubungan kuat dengan konsep keadilan sosio-ekonomi dan persaudaraan. Ekonomi Tauhid yang mengajarkan bahwa Allah sebagai pemilik mutlak dan manusia hanyalah sebagai pemegang amanah, mempunyai konsekuensi, bahwa di dalam harta yang dimiliki setiap individu terdapat hak-hak orang lain yang harus dikeluarkan sesuai dengan perintah Allah, berupa zakat, infaq dan sedekah dan cara-cara lain guna melaksanakan pendistribusian pendapatan yang sesuai dengan konsep persaudaraan umat manusia.           Sistem keuangan dan perbankan serta kebijakan moneter, misalnya, dirancang semuanya secara organis dan terkait satu sama lain untuk memberikan sumbangan yang positif bagi pengurangan ketidakadilan dalam ekonomi dalam bentuk pengucuran pembiayaan (kredit) bagi masyarakat dan memberikan pinjaman lunak bagi masyarakat ekonomi lemah melalui produk qardhul hasan.

Selanjutnya, dalam rangka mewujudkan cita-cita keadilan sosial ekonomi, Islam secara tegas mengecam konsentrasi asset kekayaan pada sekelompok tertentu dan menawarkan konsep zakat, infaq, sedeqah, waqaf dan institusi lainnya, seperti pajak, jizyah, dharibah, dan sebagainya.

Al-Quran dengan tegas mengatakan, “Supaya harta itu tidak beredar di kalangan orang kaya saja di antara kamu” (QS. 59:7), “Di antara harta mereka terdapat hak fakir miskin, baik peminta-minta maupun yang orang miskin malu meminta-minta” (QS. 70:24).

Berdasarkan prinsip ini, maka konsep pertumbuhan ekonomi dalam Islam berbeda dengan konsep pertumbuhan ekonomi kepitalisme yang selalu menggunakan indikator PDB (Produk Dosmetik Bruto) dan per kapita. Dalam Islam, pertumbuhan harus seiring dengan pemerataan. Tujuan kegiatan ekonomi, bukanlah meningkatkan pertumbuhan menurut konsep ekonomi kapitalisme. Tujuan ekonomi Islam lebih memprioritaskan pengentasan kemiskinan dan pengurangan pengangguran.

Islam dan ajarannya menekankan keseimbangan antara petumbuhan dan pemerataan. Pertumbuhan an sich bukan menjadi tujuan utama, kecuali dibarengi dengan pemerataan. Dalam konsep Islam, pertumbuhan dan pemerataan merupakan dua sisi yang tak terpisahkan,. Berdasarkan prinsip ini, maka paradigma tricle down effect, yang dikembangkan pihak Barat  dan pernah diterapkan di Indonesia selama rezim orde baru, bertentangan dengan konsep keadilan ekonomi menurut Islam.Selanjutnya, sistem ekonomi kapitalis dicirikan oleh menonjolnya peran perusahaan swasta (private ownership) dengan motivasi mencari keuntungan maksimum, harga pasar akan mengatur alokasi sumber daya, dan efisiensi. Sistem ini pun selalu gagal dalam membuat pertumbuhan dan pemerataan berjalan seiring.

Sistem ekonomi kapitalis yang bebas nilai pada akhirnya menghasilkan manusia yang tamak, boros dan angkuh. Sistem kapitalis juga telah melahirkan sejumlah bankir hebat, beberapa industriawan yang kaya raya, sejumlah pengusaha yang sukses. Di balik keberhasilannya, sistem ekonomi ini telah mengakibatkan banyak konsumen yang tidak mampu memenuhi kebutuhan minimumnya. Kesenjangan antara masyarakat kaya dan miskin terjadi terjadi secara tajam. Perusahaan-perusahaan yang lemah akan tersingkir dan tersungkur. Perlu ditegaskan, bahwa melekatnya hak orang lain pada harta seseorang (QS. 70:24), bukanlah dimaksudkan untuk mematahkan semangat karya pada setiap individu atau menimbulkan rasa malas bagi sebagian orang. Juga tidak dimaksudkan untuk menciptakan kerataan pemilikan kekayaan secara kaku.

Dalam perspektif ekonomi Islam, proporsi pemerataan yang betul-betul sama rata, sebagaimana dalam sosialisme, bukanlah keadilan, malah justru dipandang sebagai ketidakadilan. Hal ini menggambarkan bahwa Islam menghargai prestasi, etos kerja dan kemampuan seseorang dibanding orang yang malas.

Dasar dari sikap yang koperatif ini tidak terlepas dari prinsip Islam yang menilai perbedaan pendapatan sebagai sebuah sunnatullah. Landasannya, antara lain bahwa etos kerja dan kemampuan seseorang harus dihargai dibanding seorang pemalas atau yang tidak mampu berusaha.

Bentuk penghargaannya adalah sikap Islam yang memperkenankan pendapatan seseorang berbeda dengan orang lain, karena usaha dan ikhtiarnya. Firman Allah, “Sesungguhnya Allah melebihkan rezeki sebagian kamu atas sebagian lain”. (QS. 16:71). Namun, orang yang diberi kelebihan rezeki, harus mengeluarkan sebagian hartanya untuk kelompok masyarakat yang tidak mampu (dhu’afa). Sehingga seluruh masyarakat terlepas dari kemisikinan.

Konsep keadilan sosio-ekonomi yang diajarkan Islam menginginkan adanya pemerataan pendapatan secara proporsional. Dalam tataran ini, dapat pula dikatakan bahwa ekonomi Islam adalah ekonomi yang dilandaskan pada kebersamaan.  Sehingga timbul anggapan disebagian masyarakat yang menyatakan bahwa prinsip keadilan sosio-ekonomi Islam mempunyai kemiripan dengan sistem sosialisme. Bahkan pernah ada pendapat yang menyatakan bahwa sistem sosialisme itu jika ditambahkan dan dimasukkan unsur-unsur Islam ke dalamnya, maka ia menjadi Islami.

Pendapat dan pandangan yang menyatakan kemiripan  sistem keadilan sosio Islam dengan sosialisme tidak sepenuhnya benar, malah lebih banyak keliruannya. Prinsip ekonomi sosialisme, yang menolak kepemilikan individu dan menginginkan pemerataan pendapatan, jelas berbeda dengan prinsip ekonomi Islam. Sosialisme sama sekali tidak mengakui hak milik individu.

Reaksi marxisme dibungkus secara politis revolusioner dalam paham komunis yang intinya mengajarkan bahwa seluruh unit ekonomi dikuasakan kepada negara yang selanjutnya didistribusikan kepada seluruh masyarakat secara merata. Hal ini didasarkan semangat pertentangan terhadap pemilikan individu. Sedangkan dalam ekonomi Islam, penegakkan keadilan sosio-ekonomi dilandasi oleh rasa persaudaraan (ukhuwah), saling mencintai (mahabbah), bahu membahu (takaful) dan saling tolong menolong (ta’awun), baik antara si kaya dan si miskin maupun antara penguasa dan rakyat.

 


[1]Penyebutan kata keadilan dalam Al-Quran tidak saja menggunakan akar kata ‘adil tetapi juga al-mizan dan al-qist,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *