Ledakan Legislasi Ekonomi Syariah

Oleh ; Agustianto

Ketua I DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia IAEI

dan Dosen Pascasarjana Ekonomi dan Keuangan Syariah PSTTI Universitas Indonesia)

Pengertian legislasi nasional, adalah pembuatan sesuatu aturan atau norma menjadi  undang-undang secara nasional sehingga  menjadi hukum positif, atau bisa juga dirumuskan dengan  ”pengundangan hukum normatif  menjadi hukum positif”. Istilah legislasi dalam bahasa arab disebut dengan taqnin, bentuk masdar dari qanun. Qanun arinya Undang-Undang, sedangkan taqnin artinya pengundangan atau pembuatan Undang-Undang. Materi hukum Islam yang terdapat dalam kitab-kitab fikih disebut hukum normatif. Ketika hukum fikih tersebut diundangkan oleh negara, maka disebut hukum positif yang dalam konteks hukum di Indonesia disebut hukum nasional. Dengan demikian, legislasi ekonomi syariah berarti membuat hukum ekonomi syariah menjadi Undang-Undang Nasional, seperti Undang-Undang Waqaf (UU No 41 Tahun 2004), Undang-Undang Pengelolaan Zakat No 38/1999, dan sebentar lagi Undang-Undang Perbankan Syariah yang secara khusus mengatur tentang perbankan syariah yang terpisah dari perbankan konvensional..

Di Indonesia legislasi hukum Islam mulai terwujud sejak tahun 1989, dengan diundangkannnya Undang-Undang Peradilan Agama No 7 tahun 1989. Legislasi di Indonesia juga telah terwujud dalam bidang perkawinan, waqaf, zakat, warisan, haji dan  bank syariah dalam UU No 10 tahun 1998. Meskipun Undang-Undang No 10/1998, tidak khusus mengatur perbankan syariah, tetapi secara riil sistem perbankan syariah telah diatur dan akomodasi secara jelas dalam Undang-Undang tersebut.

Karena Undang-Undang No 10/1998 tidak memadai, maka  praktisi dan akademisi ekonomi Islam mendesak dan merumuskan RUU perbankan syariah yang terpisah dari Undang-Undang perbankan konvensional. Insya Allah dalam waktu dekat, RUU tersebut disahkan menjadi UU.

Urgensi  Legislasi Nasional

Industri Ekonomi dan keuangan syariah saat ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Kehadiran praktek ekonomi syuariah tersebut harus diatur dengan Undang-Undang. Peraturan perundang-undangan mempunyai peranan yang sangat penting bagi pertumbuhan kegiatan atau industri ekonomi syariah di Indonesia. Pertumbuhan industri ekonomi syariah yang semakin meningkat dan berkinerja bagus serta didukung oleh perangkat peraturan perundang-undangan yang memadai pada gilirannya akan membantu pemulihan ekonomi nasional. Pada sisi yang lain akan memberikan rasa tentram bagi masyarakat karena telah melaksanakan apa yang telah menjadi kesadaran agamanya.

Berbagai studi tentang hubungan hukum dan pembangunan ekonomi menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi tidak akan berhasil tanpa pembaharuan hukum. Memperkuat institusi-institusi hukum adalah “precondition for economic change”, and “ an agent of social change”.

Oleh karena itu perlu penentuan agenda legislasi nasional yang mendukung bagi tersusunnya undang-undang yang mengatur bidang ekonomi syariah yang tidak saja memenuhi kebutuhan kekinian akan tetapi menjangkau pula aspek futuristiknya. Terlaksananya agenda legislasi di bidang ekonomi syariah ini akan berhasil bila dilakukan berdasarkan kajian akademik mendalam dan sistematik, seperti para pakar yang tergabung dalam Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesika (IAEI). Demikian pula dukungan pihak pemerintah dan DPR serta masyarakat ekonomi syariah sendiri beserta seluruh komponen ummat Islam.

Legislasi nasional ekonomi syariah dimaksudkan untuk   membangun kepastian hukum yang lebih mantap di bidang ekonomi syariah, juga untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan ekonomi  syariah itu sendiri. karena itu upaya ini harus didukung oleh  Program Legislasi Nasional. Perkembangan kehidupan ekonomi syariah dari suatu negara dalam kadar tertentu sangat tergantung pada dukungan peraturan perundang-undangan yang mengatur ekonomi syariah tersebut.

Program Legislasi Nasional

Program legislasi Nasional (Proglenas) menjadi dasar dan awal bagi pembentukan undang-undang yang hendak dibuat.  Dalam UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.   (Pasal 15 [1]) disebutkan bahwa “Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam satu Program Legislasi Nasional. Pengaturan selanjutnya mengenai Prolegnas tertuang di dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Penyusunan dan Pengelolaan Prolegnas.

Prolegnas tersebut disusun a.l dengan memperhatikan heterogenitas hukum yang terdiri dari hukum adat, hukum Islam, hukum agama lainnya, hukum kontemporer, serta Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai sumber hukum tertinggi

 

3 Prinsip Pembuatan UU

Dalam pembentukan undang-undang perlu dipegang teguh 3 (tiga) prinsip, yaitu:

  1. Kesetiaan kepada cita-cita Sumpah Pemuda, proklamasi kemerdekaan 17 Agustus, serta nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam Pancasila, serta nilai-nilai konstitusional sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Terselenggaranya negara hukum Indonesia yang demokratis, adil, sejahtera, dan damai; dan
  3. Dikembangkannya norma-norma hukum dan pranata hukum baru dalam rangka mendukung dan melandasi masyarakat secara berkelanjutan, tertib, lancar, dan damai serta mengayomi seluruh tumpah darah dan segenap bangsa Indonesia (Gani Abdullah, 2006).

Legislasi Ekonomi Syariah

Perkembangan pesat ekonomi syariah saat ini merupakan fakta dan realita yang tak bisa ditolak. Karena itu, kehadirannya harus didukung oleh Undang-Undang. Dengan disahkanya Undang-Undang  No 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama, maka wewenang mengadili sengketa ekonomi syariah menjadi wewenang absolut lembaga Peradilan Agama. Sebelumnya, wewenang ini menjadi wewenang Peradilan Umum.

Pada pasal 49 point i UU No 3/2006 disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan  Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah. Kewenangan pengadilan agama untuk menyelesaikan kasus hukum bisnis syariah membawa implikasi besar terhadap Undang-Undang lain yang terkait, sehingga perlu dilakukan amandemen beberapa Undang-Undang agar aturan hukum di Indonesia tidak saling bertentangan.

Setidaknya hal ini terkait dengan 25 Undang-Undang, yaitu :

  1. Undang-Undang Kepailitan,
  2. Undang-Undang Fiducia
  3. Undang-Undang Arbitrase
  4. Undang-Undang Hak Tanggungan
  5. Undang-Undang  SUN (Surat Utang Negara)
  6. Undang-Undang  PT (Perseroan Terbatas)
  7. Undang-Undang Jabatan Notaris
  8. Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan
  9. Undang-Undang PPh

10.  Undang-Undang  Otoritas Jasa Keuangan

11.  Undang-Undang tentang Bank Indonesia

12.  Undang-Undang tentang Perbankan Syariah

13.  Undang-Undang tentang Perdagangan (Dagang)

14.  Undang-Undang Perwaqafan

15.  Undang-Undang Pengelolaan Zakat

16.  Undang-Undang Dokumen Perusahaan

17.  Undang-Undang Resi Gudang

18.  Undang-Undang  Perlindungan Konsumen

19.  Undang-Undang Persaingan Usaha

20.  Undang-Undang Asuransi

21.  Undang-Undang Pasar Modal

22.  Undang-Undang Koperasi

23.  Undang-Undang Money Loundring

24.  Undang-Undang tentang PPn

25.  Peraturan Pemerintah  tentang gadai/pegadaian

Penutup

Melihat banyaknya Undang-Undang terkait yang harus diamandemen, maka tidak salah jika dikatakan bahwa realita ini sebagai ledakan pengundangan ekonomi syariah di Indonesia, karena seluruh Undang-Undang terkait harus menyesuaikan.

Program legislasi nasional yang akan datang perlu mengagendakan dan memberikan prioritas pada undang-undang yang berkaitan dengan Lembaga Keuangan Syariah yang kini tengah tumbuh dan berkembang.. Penyusunan RUU-RUU yang berkaitan dengan bidang-bidang tersebut di atas dapat diprakarsai baik oleh pemerintah maupun oleh DPR sesuai dengan prosedur dan mekanisme serta ketentuan yang berlaku

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *